
Hukuman Mati: Menunggu KPK
Statusnya : menunggu KPK. Kalau KPK menerapkan pasal “hukuman mati”, maka dua menteri yang tersangkut kasus korupsi di tengah pandemi, bisa dituntut mati. Kalau tidak, ya tidak bisa. Sulit. Hakim tidak bisa memvonis hukuman mati.
Ibaratnya, kalau memasak sayur asam jangan berharap matangnya jadi sate ayam. Tidak nyambung. Jadi, sekarang, menarik menunggu sikap dan langkah KPK. Apakah KPK akan menerapkan Pasal 2 ayat 2 UU 31 Tahun 1999 tentang Tipikor? “Pertarungannya” di sini.
Tuntutan mati terhadap Mensos Juliari Batubara dan mantan Menteri KKP Edhy Prabowo dicuatkan Wakil Menkumham Edward O.S. Hiariej. Dia menilai keduanya layak dituntut hukuman mati.
Yang menarik, Wakil Menkumham “berani” mewacanakan hukuman mati terhadap Juliari Batubara, kader PDIP, sama dengan Menkumham Yasona Laoli. Itu dari sudut pandang politik. Kalau dari sisi hukum, apalagi Edward Hiariej adalah guru besar hukum, tentu saja itu tidak ada hubungannya. Hukum tegak lurus.
Wacana hukuman mati ini memunculkan pro-kontra. Yang tidak setuju, mengusulkan hukuman seumur hidup saja. Ada juga yang memberi masukan supaya menggunakan pasal pencucian uang dan dimiskinkan saja.
Ada pula yang menyarankan supaya KPK tidak menuntut mati, tapi maksimalkan saja pengungkapan kasus ini. Siapa pun yang terlibat harus diusut. Tegas, transparan, tanpa pandang bulu. Apalagi nama-nama yang dinilai belum dimaksimalkan itu sudah banyak diungkap. Nyaris terang benderang.
Sejalan dengan saran itu, juga karena gregetan atas langkah KPK, Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) kemudian menggugat KPK ke pengadilan supaya cepat menggarap pihak lain yang diduga terlibat dalam kasus korupsi, terutama korupsi Bansos.
MAKI melayangkan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (19/2/21).
MAKI antara lain menilai, penyidik KPK tidak melaksanakan seluruh izin penggeledahan yang telah diberikan Dewan Pengawas (Dewas) KPK. Padahal, Dewas telah memberikan 20 izin penggeledahan untuk keperluan penanganan perkara. MAKI mencatat, penggeledahan baru dilakukan sekitar lima kali.
Jadi, sebelum jauh melangkah ke hukuman mati yang masih pro-kontra, menarik ditunggu langkah KPK setelah digugat MAKI ke pengadilan. Itu saja dulu.
Apakah KPK akan bergerak cepat, “begitu-begitu saja”, publik tetap menunggu reaksi lembaga pimpinan Firli Bahuri itu.
Keseriusan dan ketegasan KPK sangat menentukan wajah dan kinerja KPK serta pemberantasan korupsi di Indonesia. Di era informasi yang kian terbuka, merata dan meluas seperti sekarang, keseriusan dan ketegasan bisa diukur, dipantau dan dinilai publik.
Sekarang, publik menunggu sikap dan langkah KPK, setidaknya untuk dua hal. Pertama, mengenai wacana hukuman mati. Kedua, tuntutan MAKI.
]]> Statusnya : menunggu KPK. Kalau KPK menerapkan pasal “hukuman mati”, maka dua menteri yang tersangkut kasus korupsi di tengah pandemi, bisa dituntut mati. Kalau tidak, ya tidak bisa. Sulit. Hakim tidak bisa memvonis hukuman mati.
Ibaratnya, kalau memasak sayur asam jangan berharap matangnya jadi sate ayam. Tidak nyambung. Jadi, sekarang, menarik menunggu sikap dan langkah KPK. Apakah KPK akan menerapkan Pasal 2 ayat 2 UU 31 Tahun 1999 tentang Tipikor? “Pertarungannya” di sini.
Tuntutan mati terhadap Mensos Juliari Batubara dan mantan Menteri KKP Edhy Prabowo dicuatkan Wakil Menkumham Edward O.S. Hiariej. Dia menilai keduanya layak dituntut hukuman mati.
Yang menarik, Wakil Menkumham “berani” mewacanakan hukuman mati terhadap Juliari Batubara, kader PDIP, sama dengan Menkumham Yasona Laoli. Itu dari sudut pandang politik. Kalau dari sisi hukum, apalagi Edward Hiariej adalah guru besar hukum, tentu saja itu tidak ada hubungannya. Hukum tegak lurus.
Wacana hukuman mati ini memunculkan pro-kontra. Yang tidak setuju, mengusulkan hukuman seumur hidup saja. Ada juga yang memberi masukan supaya menggunakan pasal pencucian uang dan dimiskinkan saja.
Ada pula yang menyarankan supaya KPK tidak menuntut mati, tapi maksimalkan saja pengungkapan kasus ini. Siapa pun yang terlibat harus diusut. Tegas, transparan, tanpa pandang bulu. Apalagi nama-nama yang dinilai belum dimaksimalkan itu sudah banyak diungkap. Nyaris terang benderang.
Sejalan dengan saran itu, juga karena gregetan atas langkah KPK, Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) kemudian menggugat KPK ke pengadilan supaya cepat menggarap pihak lain yang diduga terlibat dalam kasus korupsi, terutama korupsi Bansos.
MAKI melayangkan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (19/2/21).
MAKI antara lain menilai, penyidik KPK tidak melaksanakan seluruh izin penggeledahan yang telah diberikan Dewan Pengawas (Dewas) KPK. Padahal, Dewas telah memberikan 20 izin penggeledahan untuk keperluan penanganan perkara. MAKI mencatat, penggeledahan baru dilakukan sekitar lima kali.
Jadi, sebelum jauh melangkah ke hukuman mati yang masih pro-kontra, menarik ditunggu langkah KPK setelah digugat MAKI ke pengadilan. Itu saja dulu.
Apakah KPK akan bergerak cepat, “begitu-begitu saja”, publik tetap menunggu reaksi lembaga pimpinan Firli Bahuri itu.
Keseriusan dan ketegasan KPK sangat menentukan wajah dan kinerja KPK serta pemberantasan korupsi di Indonesia. Di era informasi yang kian terbuka, merata dan meluas seperti sekarang, keseriusan dan ketegasan bisa diukur, dipantau dan dinilai publik.
Sekarang, publik menunggu sikap dan langkah KPK, setidaknya untuk dua hal. Pertama, mengenai wacana hukuman mati. Kedua, tuntutan MAKI.
]]>.
Sumber : Rakyat Merdeka RM.ID .